Rabu, 12 April 2017

Izinkan Aku Menjadi Yang Kedua


Saya, seseorang akhwat periang (sekurang-kurangnya, demikianlah yang terlihat dari luar), berumur 22 tahun. Hidupku penuh dengan rasa sedih, mulai sejak kecil hingga tumbuh besar tidak sering ku kecap bahagia. Namun ku kelabui dunia dengan sosok ku yang ceria serta penuh canda. Kerapkali beberapa rekanku ajukan pertanyaan, “Ya ukhty, bagaimana langkahnya agar tak pernah sedih seperti anti? ”, cuma senyum yang dapat ku berikan untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya juga menginginkan ku tanyakan pada mereka yang hidupnya bahagia tanpa ada cela. Namun sudahlah, tak akan ku katakan cerita sedih saat kecilku, ku cuma bakal menceritakan pencarianku bakal bahagia.
Dua tahun lantas, tepatnya waktu usiaku 20 tahun, saya mulai berpikir untuk melepas kesendirian, ku sampaikan niatku pada seseorang akhwat senior yang memanglah beberapa kali sudah menawariku untuk “ta’aruf” dengan sebagian ikhwan yang semua kutolak lantaran beragam argumen. Hingga ku mengenalnya, lewat satu website pertemanan. Dia, Ubaid (bukanlah nama sesungguhnya), seseorang mahasiswa di satu perguruan tinggi di timur tengah. Sosoknya yang demikian dewasa, santun, lagi berilmu. Semua yang kucari ada kepadanya. Sayangnya, dia telah beristri serta mempunyai seseorang anak. Kutepis keinginanku untuk mengenalnya lebih jauh.

Hari untuk hari, tak tahu mengapa saya makin mengagumi akan kepadanya. Walaupun belum pernah bertatap muka, namun diskusi kami lewat “chat”, kedalaman ilmunya, keindahan susunan kata-katanya, sungguh meninggalkan kesan yang demikian dalam di hatiku. Saya mulai jatuh hati kepadanya. Ubaid, pria beristri itu!

Nyatanya rasa-ku tidak bertepuk samping tangan. Hari setelah itu ia menelponku, serta ia bertanya pandanganku mengenai polygamy. Pasti saya menjawab kalau polygamy yaitu sunnah. Sunnah yang dibenci umumnya orang. Oleh karenanya, saya mengagumi akan mereka yang dapat menjalankannya. Pada akhwat-akhwat tangguh yang dapat menaklukkan egoisme serta “hati”nya untuk sharing orang yang paling dicintainya. Tidakkah tidak bakal prima iman seorang hingga ia dapat memberi pada saudaranya apa yang dia kehendaki untuk dianya? Blah blah blah, panjang lebar keteranganku waktu itu. Ubaid dengarkan, lantas berkata : “ما شاء الله, kalau semuanya istri berfikiran seperti anti”.

“Maukah anti jadi permaisuri ke-2 di istanaku? ”
Semburat jingga langit sore itu jadi saksi bahagiaku mendengar permintaannya. Namun syukurlah logika-ku masihlah jalan. Ku katakan kepadanya “Bagaimana mungkin saja antum memohon ana jadi istri antum sedang bagaimana rupa ana-pun antum belum tau? Juga bagaimana kelak tanggapan keluarga ana serta keluarga antum, mungkinkah mereka bakal terima? ” Dia cuma diam. Lantas kutanya “Apakah istri antum tahu, antum menginginkan berta’addud? ” Dia menjawab “Tidak, namun pemahamannya telah baik, insya Allah istri ana bakal menerima”. Tersenyum saya mendengarnya. Lantas kami sudahi pembicaraan sore itu.

“Lebih baik anda gak usah nikah selama-lamanya dari pada jadi istri ke-2! ” Teriak ibuku, waktu ku tanyakan gagasannya mengenai polygamy. Walau sebenarnya saya belum bertanya bagaimana gagasannya bila akulah perempuan yang dipolygamy itu.

Kuutarakan keberatan ibuku pada Ubaid. Ibuku memanglah kerap lihat contoh polygamy beberapa orang tak berilmu yang cuma memprioritaskan nafsu. Itu penyebabnya beliau demikian menentangnya. Walaupun berpuluh kali kukatakan pada ibuku kalau polygamy yang dilandasi pengetahuan serta ketakwaan pada Allah pasti bakal tidak sama narasi.

Ubaid memohonku untuk selalu mendakwahi ibuku hingga beliau ingin terima syariat ta’addud. Diapun lakukan hal yang sama pada istrinya. Meyakinkannya untuk ikhlas sharing denganku.
Pelan tetapi tentu, ibuku pada akhirnya luluh. Beliau tak akan mencaci pelaku polygamy, terlebih sesudah kuterangkan mengenai hukum menampik syari’at atau memungkiri ayat AlQuran. Demikianlah ibuku, menentang dimuka, lalu luluh sesudah hujjah di tegakkan. الحمد لله. Mudah-mudahan beliau senantiasa dalam lindungan serta rahmat-NYA.

Kusampaikan berita senang itu pada ubaid lewat satu pesan singkat. Dibalasnya dengan “Alhamdulillaah, insya Allah berlibur musim panas ini, ana bakal menikah dengan anti”. Suka hatiku tidak terkira.
Empat bln. saat penantian merasa demikian lamaaaa.. Tertatih melindungi hati.. Lantaran memanglah langkah ta’aruf kami tak seutuhnya benar.. Kami kerap berkomunikasi lewat chat, telpon, serta sms..

Astaghfirullaah..
Hari yang dinanti juga tiba. Ubaid pulang ke Indonesia. Sendiri. Tak dengan anak istrinya. Pertemuan pertama, semuanya masihlah merasa prima. Begitu juga waktu dia meminangku pada ke-2 orang tuaku. Sosoknya yang “charming” bikin orang tuaku seakan lupa dengan statusnya yang telah menikah serta mempunyai seseorang anak. Sampai di akhir pertemuan itu seseorang kerabat mengingatkan. Lantaran Ubaid memberikan keyakinan kalau pernikahan kami atas izin serta restu istri pertamanya, orang tuaku pada akhirnya menyerahkan semua ketentuan kepadaku. Sudah pasti saya menerimanya. Dengan hati berbunga!

Ikhwan nan lucu, cerdas, berilmu serta tampan itu, bakal jadi suamiku! Gadis mana yang tidak bahagia dipinang pria kelihatannya?

Sesudah tanggal disetujui, Ubaid pamit untuk pulang ke kampung halaman serta menjemput orang tuanya. Dia bakal kembali pada bln. depan lantaran banyak jadwal isi kajian di kampung halamannya sepanjang berlibur musim panas.

Pada tanggal yang disetujui, Ubaid datang ke tempat tinggal. Namun tak dengan orang tuanya. Lantaran nyatanya orang tuanya tak merestui gagasan pernikahan kami. Orang tuaku juga akan tidak merestui bila pernikahan ini tak memperoleh restu dari keluarga Ubaid. Buyar telah gagasan kami untuk menikah. Lantaran Ubaid tak juga memperoleh restu orang tuanya hingga saat liburannya selesai. Dia kembali pada timur tengah untuk meneruskan study, serta sudah pasti untuk kembali ke istri serta anaknya. Cemburu kah saya? Ah.. Saya bahkan juga tidak memiliki hak sedikitpun untuk cemburu!

Saya cuma dapat menangis serta menangis. Menginginkan melupakannya saja, namun rasa untuk dia telah terhujam sedemikian dalam. Astaghfirullaah. Ampuni saya ya Allaah.
Ubaid memohonku untuk menanti. Dia berjanji bakal menikahiku musim panas tahun depan. Saya yang dungu juga menanti!! Satu tahun berlalu, sebagian proposal taaruf telah kutolak dengan argumen “sudah ada calon”. Intensitas komunikasiku dengan Ubaid telah jauh menyusut. Terkecuali lantaran kesibukannya hadapi ujian, juga untuk melindungi jalinan kami supaya tak melalui batas.
Sampai tiba saat yang kunantikan. Berlibur musim panas tahun selanjutnya! Ubaid pulang ke Indonesia dengan istri serta dua anaknya! Ya, DUA anaknya. nyatanya istrinya barusan melahirkan anak ke-2 mereka.

Kunantikan janjinya. Minggu pertama, ke-2, serta ketiga. Waktunya Ubaid datang serta menikahiku! Namun tidak ada berita darinya! Kutelpon seseorang akhwat rekanku yang juga yaitu tetangganya. rekanku menyampaikan kabar, Ubaid tengah melindungi istrinya di Tempat tinggal Sakit! Nyatanya minggu lantas, istrinya coba bunuh diri serta meneror bakal membunuh bayinya sesudah tahu gagasan pernikahan kami! Allahul musta’an

Waktu itu juga ku mantapkan niatku untuk mengakhiri semua. Walaupun sedikit terlambat! Nyatanya Ubaid tak pernah menyebutkan tujuannya menikahiku pada istrinya, dia merencanakan mengerjakannya diam-diam. Serta dia juga tak pernah memberitahuku kalau istrinya menderita depresi berat.

Secara singkat, saya menyiakan 1, 5 tahun usiaku untuk menanti seorang yang tidak layak kutunggu!
Hikmah apa yang dapat kita ambillah dari cerita fulanah di atas?
Poligamy memanglah yaitu sunnah yang begitu mulia. Terlebih sunnah yang satu ini kerapkali di anak tirikan bahkan juga oleh umat muslim sendiri. Jadi tidak butuh lagi di ragukan atau di perdebatkan mengenai hukum serta keutamaannya.

Malah yang pantas kita soroti yaitu adab “calon” pelaku poligamy.
Begitu kerap kita temui cerita seperti diatas walaupun mungkin saja tak sedramatis itu? Begitu banyak wanita-wanita yang perlu “patah hati” lantaran terasa di permainkan oleh “calon pelaku poligamy”? Sesudah menabung berharap, nyatanya si ikhwan cuma “coba-coba”. Nyatanya ia belum betul-betul siap serta belum “menyiapkan” keluarganya.

So, beberapa ayah, bila ingin nikah lagi yang ‘wise’ ya. Janganlah grusa grusu mencari akhwat dahulu bila belum betul-betul siap serta mampu berlaku “jantan” hadapi semuanya halangan.
Meskipun izin serta restu istri/keluarga tak harus ada, namun sekurang-kurangnya bakal kurangi beberapa hal tak mengasyikkan di masa datang. Jikalau ingin lanjut tanpa ada izin serta restu keluarga, silakan saja, asal dapat memikul semua kemungkinan serta mengakibatkan. Janganlah jadi lari di dalam jalan, sesaat ada akhwat yang menangis lantaran sangat awal menabung berharap.
Untuk saudari-saudariku terkasih diluar sana, janganlah mudah “main hati”.. Buang jauh-jauh rasa cinta serta semacamnya hingga akad telah terucap.. terkecuali menghindari diri dari dosa juga menghindari diri dari sakit hati insya Allah..

(Cerita ini yaitu satu cerita riil yang dikisahkan oleh seseorang akhwat yang berkaitan,, namun untuk informasi detailnya berniat di samarkan.)

0 komentar:

Posting Komentar