Rabu, 12 April 2017
Home »
» Menikahi Istriku Agar Terhindar Dari Ajaran Sesat
Menikahi Istriku Agar Terhindar Dari Ajaran Sesat
Saya berjumpa dengan istri atas kebaikan seseorang saudara jauh dari ayah. Awalannya saya tidak tertarik untuk menikah dengannya. Bukanlah apa-apa, saya memanglah belum menginginkan menikah. Namun saudara ayah ini, telaten menawariku. Pernah risih juga “diuber-uber” dengan tawaran yang sama. Sampai satu hari, waktu saya rebahan di kamarku sepulang kerja, saya pikirkan kembali tawaran itu. Toh, umurku juga kian lebih cukup untuk menikah serta saya telah miliki pekerjaan yang insya Allah dapat untuk berikan nafkah, walau tidak dapat disebut banyak.
Keluarga istri yaitu pengikut Ahmadiyah. Itu saya tahu dari saudara ayah. Serta maksud dianya menginginkan menikah salah nya ialah supaya dia dapat terlepas dari dampak keluarga. Di tempat tinggalnya, dari 7 bersaudara, cuma dia yang tidak turut Ahmadiyah. Dari awal mulanya, istriku telah terasa aneh dengan ajaran yang diyakini keluarganya. Apabila ia menyampaikan argumen tidak ingin turut ajaran ini, ujung-ujungnya kemarahan serta cacian yang ia terima. Pergi dari hal semacam ini juga yang jadikan satu diantara argumenku menikahinya. Ia perlu seorang yang dapat mengeluarkannya dari tempat tinggal, untuk menyelamatkan agamanya. Serta saya mengerjakannya semata lantaran Allah. Saya kasihan serta prihatin dengan apa yang menimpanya.
Dengan “bismillah” saya minta pendapat pada orang tuaku. Alhamdulillah, mereka memahami serta dapat tahu. Bahkan juga mendukungku seutuhnya. Mereka juga berpesan apabila saya betul-betul menginginkan menikahinya, saya mesti dapat jadi imam yang baik untuk dia. Dapat menuntunnya, melindungi, serta bertanggungjawab seutuhnya.
Nyatanya tak gampang untuk menembus birokrasi keluarganya, mereka ajukan pertanyaan begitu detil mengenai saya serta keluargaku, serta dari tempat mana saya kenal dianya. Saya katakan kenal dari Pakdhe (paman-red), yang kebetulan tinggal satu RT dengan keluarga istri. Pakdhe kebetulan pernah jadi jamaah Ahmadiyah. Tetapi alhamdulillah, Pakdhe telah tobat mulai sejak satu tahun lebih lantas. Keluarga istri tidak paham bila Pakdhe telah bukanlah lagi jamaah Ahmadiyah. Jadi mereka juga menduga saya orang Ahmadiyah juga.
Dua bln. lalu restu keluara istri baru turun serta sepanjang menunggu tidak ada komunikasi sekalipun. Demikian jawaban datang, saya serta keluarga segera melamar serta memastikan tanggal pernikahan. Awalannya mereka menampik cepat-cepat menikah. Namun saya beralasan takut zina serta jadi fitnah, alhamdulillah mereka ingin menyepakatinya.
Satu minggu lalu kami menikah dengan memanggil petugas KUA dirumah istri. Pesta pernikahan di gelar dirumah istri. Alhamdulillah akad nikah berjalan lancar. Tetapi sebagian waktu lalu, waktu saya terima tamu, ayah mertuaku memanggil. Saya mulai terasa ada yang tidak beres, sebab demikian masuk ke ruangan keluarga, nyatanya sebagian anggota keluarga telah ada disana. Serta benar saja, barusan saya masuk, saya dicecar dengan beberapa pertanyaan.
Tak tahu siapa yang mengemukakan, orangtua istri pada akhirnya tahu kalau saya bukanlah jamaah mereka. Serta hari itu juga saya disuruh menceraikan istri. Sebab ketentuan mereka, mewajibkan jamaah untuk menikah dengan sesama jamaah mereka sendiri. Bukanlah main terkejutnya saya. Istri di panggil serta waktu itu juga dipaksa bercerai. Istriku menampik sampai menangis histeris sampai pingsan. Waktu saya akan menolongnya, saya malah ditahan oleh keluarga istri. Saya dimaki-maki bahkan juga pernah dipukul. Tetapi, saya tetaplah bertahan disana, lantaran saya terasa miliki tanggung jawab serta keharusan melindungi istri. mertua untuk diizinkan melindungi istri. Dari negosiasi dengan keluarga istri, saya tetaplah tidak diizinkan untuk berjumpa serta harus saya diwajibkan bercerai. Fikiranku kacau, terlebih waktu mendengar tangis istri dari dalam kamar. Cemas, kuatir, serta sedih menguasaiku. Malam yang semestinya kami lewati dengan berbunga-bunga, berlalu dengan kemelut serta air mata.
Atas nasehat keluargaku, saya disuruh mengalah dahulu serta pulang ke tempat tinggal untuk mencari jalan keluar serta menentramkan diri. Saya juga mengambil langkah pulang laksana tentara yang kalah perang. Hancur hati, hancur mimpi, hancur semuanya. Haruskah pernikahan yang belum lagi satu hari selesai? Haruskah saya menyerah serta melupakan kemauan awalku menikahinya? Tak!
Saya tidak bisa menyerah.
Besok harinya, atas kehendakku sendiri saya datang ke tempat tinggal istri tanpa ada diantar satu juga keluargaku. Orang tuaku pernah cemas, namun kami semuanya meyakini Allah bakal menolong satu kemauan baik. Orangtua berpesan supaya saya sabar, tak emosi serta tak terpancing situasi serta bicara baik-baik lagi pada mertua.
Hari pertama usahaku tidak berhasil. Saya tidak diterima mentah-mentah oleh mertua serta keluarga. Mereka menampikku dengan begitu kasar. Melemparkan semuanya baju-bajuku yang belum pernah kubawa tempo hari. Tidak hanya itu, mereka meneror, memohonku tidak untuk lagi berani menginjakkan kaki kesana, terlebih hingga berani menjumpai istriku. Hari itu, saya pulang dengan tangan kosong.
Hari ke-2 saya pulang dengan kondisi yang sama. Namun kesempatan ini saya sedikit lebih mujur, dapat mencuri-curi mendekat ke kamar istri lewat kebun belakang tanpa ada ketahuan. Lewat jeruji jendela kami berjumpa serta sama-sama bertangisan. Istri sesungguhnya nekat menginginkan turut melarikan diri bersamaku dengan menjebol jendela, sebab pintu dikunci. Namun saya melarangnya. Sebab menurutku itu bakal bikin situasi lebih jelek. Saya memohonnya bersabar serta berjanji bakal selekasnya menjemputnya, Insya Allah. Selalu jelas saja, sedih hati ini serta tidak tega. Lebih-lebih istriku mendadak sakit demam, mungkin saja lantaran tegang serta fikiran.
Hari ketiga saya ke tempat tinggal mertua dengan penolakan yang sama. Tetapi kesempatan ini saya bertahan, lantaran teringat istri yang sakit. Mengharapkan mertua luluh. Doaku didengar Allah. Hati mertuaku luluh. Apa lagi hari itu istriku kembali jatuh pingsan dengan demam tinggi. Kondisi itu membuatnya mesti dirawat dirumah sakit. Walau masihlah ketus serta kaku, mertua dapat terima kehadiranku. Satu diantaranya, lantaran lihat saya tidak kapok bolak-balik ke tempat tinggal mereka walau tidak diterima serta dikasari. Dan lihat kesungguhanku. Pada akhirnya mereka menerimaku.
Sesudah pulih, saya membawa istri ke rumahku. Satu bulan lalu kami ngontrak tempat tinggal sendiri. Kurasa hal semacam ini tambah baik untuk kami. Sekalian belajar mandiri. Saat ini, istri juga miliki aktivitas mengajar di pondok sambil menanti kelahiran momongan pertama kami. Semoga rumah tangga kami abadi, sakinah mawadah warahmah. (***)
Seperti diceritakan oleh seseorang Ikhwan pada Ummu Daud
Majalah Sakinah, Vol. 9, No. 10 Muharam-Shafar 1432
0 komentar:
Posting Komentar